Jihad Baru JI: Antara Taubatan Nasuha dan Taqiyyah

Pojokpolitik.com
Share:

 

Jihad Baru JI: Antara Taubatan Nasuha dan Taqiyyah. (Foto : Istimewa)

Penulis: Dimas Purba- Pegiat Persatuan Islam

DEKLARASI pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) pada akhir Juni 2024 telah membuka babak baru dalam kitab panjang sejarah perjuangan kelompok yang mempunyai landasan filosofis di Indonesia. 

Sebagai salah satu pegiat persatuan Islam, saya melihat bahwa momen ini bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari fase hijrah yang penuh dengan tanda tanya.

JI telah menunjukkan diri sebagai tanzhim yang sangat adaptif, bermetamorfosis dari kelompok yang mengusung konsep qital fisabilillah menjadi organisasi yang lebih 'terbuka' di era Para Wijayanto. 

Kini, dengan deklarasi untuk 'kembali ke pangkuan NKRI', mereka seolah melakukan taubatan nasuha. Tapi, apakah ini benar-benar taubat atau sekadar bentuk taqiyyah?

Kita perlu mengingat bahwa JI bukanlah jamaah yang monolitik. Ada friksi antara 'neo-JI' dan 'JI senior'. 

Perpecahan semacam ini mengingatkan kita pada peristiwa pasca Kongres Mujahidin I, di mana kekecewaan syabab JI terhadap Abu Bakar Ba'asyir yang bergabung dengan Majelis Mujahidin berujung pada aksi istisyhad Bom Bali.

Dengan adanya deklarasi pembubaran ini, ada potensi besar bagi faksi neo-JI untuk menggunakan momentum ini sebagai ajang pembuktian eksistensi. 

Mereka mungkin melihat ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa 'semangat perjuangan' mereka masih hidup, terlepas dari keputusan para senior. 

Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran akan munculnya aksi-aksi sporadis yang sulit diprediksi dan berpotensi lebih berbahaya karena dilakukan oleh sel-sel kecil yang tidak terkoordinasi.

Kedua, kita perlu mencermati strategi adaptasi JI dalam konteks yang lebih luas. Pengalaman dengan pembubaran organisasi-organisasi yang dianggap radikal lainnya menunjukkan bahwa seringkali yang terjadi hanyalah perubahan nama atau 'baju' organisasi, bukan ideologi. 

JI telah membuktikan kemampuannya untuk beradaptasi dengan berbagai situasi politik dan keamanan di Indonesia di berbagai era pemerintahan. 

Pola perubahan JI selama dua dekade terakhir menunjukkan bahwa organisasi ini cenderung mengadopsi strategi jangka panjang yang fleksibel. 

Mereka telah berhasil menavigasi berbagai tekanan politik dan keamanan dengan mengubah taktik, namun tetap mempertahankan inti ideologis mereka.

Laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyoroti bahwa salah satu motivasi di balik pembubaran ini adalah untuk melindungi aset JI, terutama lembaga-lembaga pendidikan. 

Ini menunjukkan bahwa JI masih memiliki kepentingan material yang signifikan, yang bisa menjadi sumber daya untuk aktivitas masa depan mereka. 

Perlindungan aset ini bisa menjadi indikasi bahwa JI sedang mempersiapkan strategi jangka panjang untuk mempertahankan pengaruh mereka melalui jalur-jalur yang lebih terlegitimasi secara sosial dan hukum.

Pernyataan JI untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa harus dilihat secara kritis. Ini bisa menjadi strategi cerdas untuk mengurangi pengawasan dan memperoleh ruang gerak yang lebih luas. 

Dengan status baru sebagai organisasi 'pro-NKRI', mereka mungkin bisa beroperasi dengan lebih leluasa tanpa beban stigma masa lalu. 

Namun, kita perlu mempertanyakan sejauh mana perubahan ini benar-benar mencerminkan transformasi ideologis yang substansial.

Akhirnya, meskipun pembubaran JI bisa dilihat sebagai langkah metamorfosis yang bukan hanya tantangan bagi aparat keamanan, tapi juga bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia. 

Lebih jauh lagi, kita perlu mempertimbangkan implikasi global dari pembubaran JI ini. 

Mengingat JI pernah memiliki jaringan transnasional yang kuat, terutama di kawasan Asia Tenggara, langkah ini bisa memiliki efek domino terhadap kelompok-kelompok afiliasi di negara lain. (*)

Share:
Komentar

Berita Terkini