Sultan Deli ke XIV Sultan Mahmud Aria Lamantjiji Perkasa Alam Shah melihat sejumlah Keris saat hadir di acara JENAKA yang digagas Medan Heritage dan Malay Cteative Project. (Foto : Istimewa) |
POJOKPOLITIK. COM- Keris Melayu, kesakralan pusaka dan juga keberadaan artefak dalam mempertahankan eksistensi budaya Melayu di Medan diulas lugas di acara JENAKA (Jelajah Sejarah Kota).
Sederhana dan juga penuh makna. Ruang Avros Kafe Jalan Pemuda yang menjadi bagian dari Museum Perkebunan Indonesia itu semakin penuh cerita.
Para tamu undangan yang didominasi Mahasiswa Politeknik LP31 Medan seolah diajak menjelajah dan menembus ruang dimensi Kesultanan Deli melalui Keris sebagai pusaka dan juga salah satu identitas budaya Melayu.
Hingga akhirnya, acara yang digagas Medan Heritage dan melibatkan kelompok Malay Creative Project ini pun ikut menghipnotis Sultan Deli ke XIV Sultan Mahmud Aria Lamantjiji Perkasa Alam Shah hadir langsung di acara itu.
Daulat Tuanku... Mendadak suara serempak sembari menyatukan telapak tangan di atas kepala menggema menyambut kedatangan keturunan dari Tuanku Panglima Gocah Pahlawan pada Sabtu (13/7/2024) sore itu.
Suasana itu semakin mengakrabkan pikiran kaum muda untuk travelling di zaman Kesultanan Deli yang telah berdiri sejak 1632 silam.
Mendapat sambutan hangat, Sultan Mahmud Aria tak bisa menyimpan rasa bahagianya.
Dirinya mengaku bangga melihat para kaum muda masih peduli dengan budaya Melayu termasuk pusaka Keris yang menurutnya begitu sakral bagi Kesultanan Deli.
“Bagi Kesultanan Deli Keris ini benda sakral. Tentu sangat tersanjung dibuat seperti ini, untuk mengedukasi masyarakat. Supaya ke depannya nanti masyarakat bisa mengenal bahwasanya nenek moyang kita itu dulu banyak membuat keris membuat berbagai macam alat-alat adat yang digunakan berperang, untuk acara, dan sebagainya. Jadi saya harap masyarakat bisa mengetahui maknanya mengetahui tipe-tipe motifnya seperti apa,” ungkapnya.
Mahasiswa ataupun kaum muda, menurutnya penting mengenal unsur-unsur kebudayaan agar tidak melupakan keberadaan nenek moyang yang pernah mewarnai perjalanan sejarah di Kota Medan.
“Saya berharap semuanya bisa belajar apa makna keris yang sebenarnya. Jadi sebenarnya keris itu bukan hanya untuk berperang saja, tetapi ada maknanya, biasanya dulu untuk berburu atau yang lain banyak sekali. Makna yang saya dalami di keris adalah persatuan dan harga diri,” ujarnya.
Pendiri Medan Heritage dan juga penggagas acara, Rizky Nasution menceritakan awal terbersitnya ide membuat JENAKA yang mengambil tema ‘Cakap Melayu, Jirus Pusaka Melayu Semenda’.
Sultan Deli ke XIV Sultan Mahmud Aria Lamantjiji Perkasa Alam Shah diabadikan bersama sejumlah panitia penggagas kegiatan JENAKA. (Foto : Istimewa) |
Rizky mengaku bahwa ide dari kegiatan ini timbul usai pertemuan mereka dengan teman-teman dari Malay Creative Project.
“Dan akhirnya Medan Heritage itu sampaikan nih ke mereka yuk dong kita bikin Cakap Melayu yang esensinya itu sebenarnya pengen membumikan budaya Melayu’ tetapi dengan cara yang lebih umum. Kan saat ini yang orang lihat kalau kita ngomongin tentang budaya Melayu berasa terkesan eksklusif,” terangnya.
Tema keris yang diusung juga menurut Rizky hadir dari Medan Heritage yang meminta agar orang yang diundang merupakan sosok anak-anak muda yang peduli dengan budaya.
“Kami mintanya sama mereka jangan orang yang paling expert gitu diturunkan, tapi sosok-sosok muda. Kita pengen bilang ‘nih anak-anak muda aja banyak loh yang peduli dengan budaya’. Nah kita memang mau tampilkan itu dan kebetulan waktu kemarin itu ada sosok anak mudanya bisa membahas tentang keris nah makanya yang pertama temanya dimunculkan keris gitu,” jelasnya.
Sementara itu, Budayawan Keris Melayu, Khairul Fadli yang hadir sebagai pemateri berharap agar pusaka Keris terus lestari.
“Harus kita jaga. Dan untuk menarik minatnya itu kita harus melakukan satu edukasi, kemudian seminar-seminar seperti ini guna memberikan pemahaman bahwasannya keris atau pusaka itu tidak terkait dengan klenik. Jadi itu merupakan keindahan rancang bangunnya dan itulah yang sangat diharapkan dari generasi muda agar tidak malu untuk melestarikan kebudayaannya,” ungkap budayawan yang telah belajar mengenai Keris sejak 2017 itu.
Dirinya mengaku mendapatkan Keris pertamanya pada 2019.
Sejak saat itu dirinya tertarik untuk mendalami tentang keaslian Keris hingga akhirnya menjadikan Keris dari bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya.
Bahkan untuk merawat pusakanya, Khairul Fadli mengaku selalu membersihkannya sebagai prosesi yang dikenal dengan Jirus.
"Jirus itu menyiramkan air secara perlahan-perlahan. Untuk Melayu punya diksi khusus, menyiramkan air dengan air mutlak (suci lagi menyucikan). Dan bagi orang Melayu tradisi Jirus dilakukan setiap malam satu Muharram, " ujarnya mengakhiri. (*)